Langsung ke konten utama

Mengantar AHMAD WAHIB pulang.

Beberapa waktu lalu aku sempat nytatus di pesbuk, kalo aku hendak menghibahkan salah satu buku ahmad wahib ku " pergolakan pemikiran islam ". Tapi buku ini hendak aku hibahkan pada mereka yang berasal dari madura. Sebab ahmad wahib sedang ingin pulang ke madura.

" buku punya jodohnya sendiri ". Ucapan klise. Tapi berkali2 terjadi.

Buku ahmad wahibku yang pertama, aku beli di lapak buku bekas. Aku temukan di tumpukan novel2 semacam mira w, freddy s, dan semacamnya. Karena novel2 bekas itu seharga 5000rb, dan si penjual mengira bahwa ahmad wahib itu juga semacam novel2 itu, harganya pun disamakan, 5000rb rupiah.

Ahmad wahib kedua, aku lupa harganya berapa. Aku barter dengan sebuah buku, lupa buku apa. Ahmad wahib yang ketiga ini aku dapat juga dari lapak buku bekas. Harganya 15.000rb. Cetakan pertama.

Ahmad wahib adalah (penulis) madura pertama yang aku kenal. meskipun dia meninggal dalam usia muda, tapi letupan pemikiran dan catatan2 harian nya yg terkumpul dalam buku itu, tetap menjadi rujukan dan bacaan yang wajib di baca oleh mereka2 yang ingin mengenal pemikir islam modern. Terutama di indonesia.
Dan konon, buku ini pernah dilarang di pesantren2 karena takut mencemari keimanan para santri.

siapa yang berjodoh dengan ahmadwahib ku ini? Orang madura tentu saja....
Nama nya kusamarkan saja jadi ali.
Aku baru ketemu dia hari itu, di kampung ilmu. kebetulan aku ada janji dengan seorang guru ku. Guru kawan2 ali juga. Cuman ali baru pertamakali itu juga ketemu guru ku. Bahkan belakangan, ketika aku mengantar pulang guru ku, dia sempat ngomong: hari ini aku didatangkan kesini, mungkin, hanya untuk bertemu ali.
... Semuanya serba kebetulan. Tapi kebetulan yang sudah di tentukan.

Ali, umurnya 27an. Seorang anak ustadz di madura. Punya padepokan. Dan sering berkegiatan teater. Rambut nya gondrong. Kumis dan brewok nya rapi tapi tak lebat.
Gaya bicara halus. Dan punya keahlian memijat. Dengan bercanda dia bercerita:
" hari ini aku bisa ke surabaya karena sedang masa iddah. Istri ku baru melahirkan. Jadi aku bebas sementara ".

Ali hendak mendaftar ke STKW (skolah tinggi kesenian wilwatikta). Ia hendak memperdalam ilmu tentang teater. mendengar keinginan nya masuk ke stkw itu, guru ku langsung berkomentar:
" untuk apa kau sekolah lagi... PULANG "
ali bingung ....
Dia ingat ucapan ayahnya di madura.
" ayah ku juga bilang begitu mas, aku di suruh pulang dan bertani ".
" ya... Betul ucapan ayah mu. Pulang saja. Itu lebih baik. Daripada kau menghabiskan waktu mu di sekolah dan ketika kau kembali ke kampung mu, kau jadi orang asing ".

Aku setuju dengan ucapan guru ku itu.
Dan di dalam pikiran ku (meskipun ali belum mengatakan itu) ,aku tahu apa yang mendasari ali ingin masuk ke stkw. Aku tahu bahwa dia ingin belajar wacana2 barat tentang kesenian khusus nya teater. Kemudian seorang kawan ( dari madura juga ), membeberkan alasan ali.
" begini guru, ali ini di madura merasa di remehkan oleh komunitas2 teater lain di madura, hanya karena ali ini berteater nya cuma berangkat dari s.m.a dan tak pernah paham tentang wacana2 teater modern ".
.... " sudah, pulang saja ".
kata guru ku .....
" pulang, bertani, hiruplah gairah alam, dan jadikan lingkungan mu sebagai jalan untuk berkesenian. Tak perlu belajar lagi. sebab, percuma, jangan2 dosen stkw itu tak lebih hebat dari kamu. Bahkan bisa2 kamu lebih hebat. Sudah, pulang saja ke kampung ".

.... Aku, sepaham dengan guru ku.
Dalam pemikiran ku yang sederahana, aku berpikir. Ali ini ingin mengenal teori2 barat modern itu, tapi mungkin dia tak tahu bahwa, ideologi modernitas telah di hantam oleh ideologi post-modern. Ideologi yang, kata guru ku, lebih humanis, dan lebih mementingkan ketradisionalan. Yang kecil2. Yang remehtemeh. Yang dulu di lindas oleh kereta kemodernan yang kebablasan.

Pulang .....
Mendengar kata pulang dari guru ku itu, aku teringat ahmadwahib ku yang ingin pulang ke madura. Sungguh suatu kebetulan yang maha teratur. Ali melintas di jalan hidup ku hanya untuk mengajak ahmadwahib pulang kembali ke kampung nya, madura.

Sebelum pulang aku bersalaman dengan ali -yang masih bingung dengan ucapan pulang - dan menjanjikan akan memberikan sebuah buku ku padanya.
....
Ahmadwahib ku akan pulang ke madura.
akhirnya ...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BOOKHIVE kulonuwon di SURABAYA

Kemudian kita taruh rak2 buku itu dipojokan2 ruang publik agar masyarakat bebas membaca dan mengakses pengetahuan sembari mereka mengantre atau nyantai menunggu sesuatu. Begitulah ... Seseorang atau sebuah komunitas punya ide yang nampaknya utopis tapi persetanlah ... Ide harus di wujudkan. Meskipun nanti akhirnya rak2 itu hanya menjadi semacam pemanis atau semacam formalitas sebuah instansi agar dipandang berbudaya. Ya ... Konsep menempatkan rak2 buku lengkap dengan buku2 bacaan ringan di ruang publik memang  bukan hal baru. Lalu apa yg membedakan #bookhive dgn semisal perpus gratis yg digagas pak sutopo tukang becak di jogja, pak sugeng hariyono tukang tambalban di lampung, dan fauzi tukang jamu dari sidoarjo, atau lapak2 baca gratis semacam ALS ( ALIANSI LITERASI SURABAYA) yg melapak dibeberapa spot taman kota surabaya dengan deg2an karena seringkali berhadap2an dengan aparat keamanan karena dianggap mengganggu estetika taman kota. Apa bedanya? Apa beda esteh

Hujan kesedihan

Siapa yang bisa menyalahkan orang2 yang melekatkan kesedihan pada hujan?. ...... ketika adam terlempar ke bumi, terpisah dari tulang rusuk nya sendiri kemudian hujan yang pertama baginya datang, apa yang ia lakukan? Mungkin dari sanalah hujan mendapatkan peran sebagai kembaran kesedihan. ..... Aku tak ingin memberi mu kesedihan lewat hujan. Kau sendiri yang tiba2 mengirim pesan pendek padaku, berkata: aku takut pada kesepian. Aku takut hujan yang menambah panjang kesepian. Aku takut hujan yang menambah panjang kesepian yang selalu berujung pada kesedihan. ..... bukan hujan yang memperpanjang kesepian. Bukan kesepian yang memojokkan mu pada kesedihan. Bukan pula hujan yang melahirkan kedua nya. Tapi kamulah penyebab nya ..... Kau lah yang tak juga beranjak dari kesedihan yang kau bangun sendiri. Kesedihan yang Kau pupuk dengan kebahagiaan2 semu. Kebahagiaan yang kau peras dari kesedihan orang lain. ....

Janji menulis puisi

Anggaplah ini janji .... Tapi kau tak punya kewajiban menagih. Setelah pertemuan ini, aku ingin menulis puisi. Tentang apa, itu perkara nanti. Sebab aku menolak kau remehkan. Aku tak mau kau anggap, sekedar, kenangan. Kenangan pada meja. Pada cangkir cafe yang wah. Pada pigura yang terpampang di dinding-dinding tua. Aku menolak kau banding-bandingkan dengan rasa kopi favorit mu. Kopi pahit yang punya nama asing itu yang tak pernah ku ingat itu. Setelah pertemuan ini ... Setelah pertemuan ini, kemana kau akan pergi? Kemana kau akan pulang? Mengapa kau tak menanyakan dua hal itu padaku? Kau tak perlu bertanya: Puisi ini untuk ku atau siapa? Nanti saja ku jawab kalau puisi itu sudah jadi.  Atau tak jadi. Kalau tak jadi, itu lebih baik. Aku tak berhutang apapun padamu. Dan kau tak perlu menagih apapun ke aku. .... Kau ku bebaskan membanding bandingkan ku dengan segala perabot dan tetek bengek kenangan mu. @kampoengILMU 26/05/14