Kemudian kita taruh rak2 buku itu dipojokan2 ruang publik agar masyarakat bebas membaca dan mengakses pengetahuan sembari mereka mengantre atau nyantai menunggu sesuatu.
Begitulah ...
Seseorang atau sebuah komunitas punya ide yang nampaknya utopis tapi persetanlah ...
Ide harus di wujudkan. Meskipun nanti akhirnya rak2 itu hanya menjadi semacam pemanis atau semacam formalitas sebuah instansi agar dipandang berbudaya.
Ya ...
Konsep menempatkan rak2 buku lengkap dengan buku2 bacaan ringan di ruang publik memang bukan hal baru.
Lalu apa yg membedakan #bookhive dgn semisal perpus gratis yg digagas pak sutopo tukang becak di jogja, pak sugeng hariyono tukang tambalban di lampung, dan fauzi tukang jamu dari sidoarjo, atau lapak2 baca gratis semacam ALS ( ALIANSI LITERASI SURABAYA) yg melapak dibeberapa spot taman kota surabaya dengan deg2an karena seringkali berhadap2an dengan aparat keamanan karena dianggap mengganggu estetika taman kota. Apa bedanya?
Apa beda esteh dan icetea?
Apa beda kopi & coffee?
Apa bedanya esteh di gelas warkop
Dan icetea yg disajikan dalam gelas mug cafe?
Beda dikemasan, harga, dan orientasi pasarnya. Itu tok ...
Soal isi, 11 - 12 alias beda sehelai rambut dibelah tujuh.
ALS kemaren rabu 25-agustus-2021 berkesempatan diundang oleh sebuah tempat ( aku tak paham apa istilah tempat cafe2an milenial semacam itu ) sebut saja sentra wisata kuliner baru di daerah jalan padmosusastro surabaya utk peresmian sebuah rak #bookhive yg baru pertama ada dikota ini.
Entah kriteria apa hingga owner tempat ini meminta ALS menjadi semacam perwakilan dari komunitas2 literasi yg banyak tumbuh ( meskipun aktif hanya di postingan2 IG sosmed masing2 saja ) di surabaya.
Mungkin nama kami yg mentereng membawa titel ALIANSI LITERASI yg faktanya hanya berisi segelintir wajah yg itu2 saja.
Kembali ke soal #bookhive.
Konsep baru apa yg hendak ditawarkan oleh sebuah rak buku yg dapat diakses umum tanpa
segala keribetan administrasi mirip perpus2 milik pemerintah atau instansi pendidikan?
Konsep baru apa yg di dapat dari perpus gratis
Dimana para pembaca bisa baca ditempat ataupun bebas membawa pulang buku yg tak habis sekali baca?
Jika dilihat dari tempat dimana rak itu diletakkan, mungkin bukan kebutuhan utk menyediakan akses pada bacaan gratis yg hendak dituju. Bisa jadi rak itu hanya - seperti yg aku ucap diawal - cuman semacam pemanis. Sebuah asesoris agar kita nampak lebih beradab. Nampak lebih manis.
Tapi meskipun hanya sekedar pemanis.
semoga saja rak #bookhive tak sekedar Menjadi branding sebuah lokasi kuliner kekinian tapi bisa menjadi salah satu lini gerakan mencerdaskan anak bangsa.
Kalo tak bisa mencerdaskan
Paling tidaklah bisalah jadi spot
Yang instagramable.
...
- utk tulisan lain soal ini,
Silahkan cek tulisan kawan saya di :
https://jurnalapi.wordpress.com/2021/08/26/jurnal-api-berangkat-ke-tempat/
Begitulah ...
Seseorang atau sebuah komunitas punya ide yang nampaknya utopis tapi persetanlah ...
Ide harus di wujudkan. Meskipun nanti akhirnya rak2 itu hanya menjadi semacam pemanis atau semacam formalitas sebuah instansi agar dipandang berbudaya.
Ya ...
Konsep menempatkan rak2 buku lengkap dengan buku2 bacaan ringan di ruang publik memang bukan hal baru.
Lalu apa yg membedakan #bookhive dgn semisal perpus gratis yg digagas pak sutopo tukang becak di jogja, pak sugeng hariyono tukang tambalban di lampung, dan fauzi tukang jamu dari sidoarjo, atau lapak2 baca gratis semacam ALS ( ALIANSI LITERASI SURABAYA) yg melapak dibeberapa spot taman kota surabaya dengan deg2an karena seringkali berhadap2an dengan aparat keamanan karena dianggap mengganggu estetika taman kota. Apa bedanya?
Apa beda esteh dan icetea?
Apa beda kopi & coffee?
Apa bedanya esteh di gelas warkop
Dan icetea yg disajikan dalam gelas mug cafe?
Beda dikemasan, harga, dan orientasi pasarnya. Itu tok ...
Soal isi, 11 - 12 alias beda sehelai rambut dibelah tujuh.
ALS kemaren rabu 25-agustus-2021 berkesempatan diundang oleh sebuah tempat ( aku tak paham apa istilah tempat cafe2an milenial semacam itu ) sebut saja sentra wisata kuliner baru di daerah jalan padmosusastro surabaya utk peresmian sebuah rak #bookhive yg baru pertama ada dikota ini.
Entah kriteria apa hingga owner tempat ini meminta ALS menjadi semacam perwakilan dari komunitas2 literasi yg banyak tumbuh ( meskipun aktif hanya di postingan2 IG sosmed masing2 saja ) di surabaya.
Mungkin nama kami yg mentereng membawa titel ALIANSI LITERASI yg faktanya hanya berisi segelintir wajah yg itu2 saja.
Kembali ke soal #bookhive.
Konsep baru apa yg hendak ditawarkan oleh sebuah rak buku yg dapat diakses umum tanpa
segala keribetan administrasi mirip perpus2 milik pemerintah atau instansi pendidikan?
Konsep baru apa yg di dapat dari perpus gratis
Dimana para pembaca bisa baca ditempat ataupun bebas membawa pulang buku yg tak habis sekali baca?
Jika dilihat dari tempat dimana rak itu diletakkan, mungkin bukan kebutuhan utk menyediakan akses pada bacaan gratis yg hendak dituju. Bisa jadi rak itu hanya - seperti yg aku ucap diawal - cuman semacam pemanis. Sebuah asesoris agar kita nampak lebih beradab. Nampak lebih manis.
Tapi meskipun hanya sekedar pemanis.
semoga saja rak #bookhive tak sekedar Menjadi branding sebuah lokasi kuliner kekinian tapi bisa menjadi salah satu lini gerakan mencerdaskan anak bangsa.
Kalo tak bisa mencerdaskan
Paling tidaklah bisalah jadi spot
Yang instagramable.
...
- utk tulisan lain soal ini,
Silahkan cek tulisan kawan saya di :
https://jurnalapi.wordpress.com/2021/08/26/jurnal-api-berangkat-ke-tempat/
Komentar
Posting Komentar