Langsung ke konten utama

Penjual Buku dan Kehampaan Interaksi.

Penjual Buku dan Kehampaan Interaksi.

*Dibuat dgn CHATGPT*

Ada yang menarik dari sebuah toko buku kecil di sudut kota yang sepi. Rak-rak yang penuh dengan buku, berderet rapi, dan aroma kertas tua yang khas. Tapi ada sesuatu yang hilang di sini. Kehadiran para penjual buku yang, alih-alih menjadi jembatan antara karya sastra dan pembacanya, justru terjebak dalam kebisuan mereka sendiri.

Penjual buku, dalam banyak hal, seharusnya menjadi pemandu wisata dalam dunia literasi. Mereka adalah orang-orang yang bisa menunjukkan jalan ke novel yang akan mengubah hidupmu, atau buku puisi yang akan menggetarkan hatimu. Namun, sayangnya, banyak dari mereka yang lebih memilih untuk bersembunyi di balik meja kasir, asyik dengan ponsel mereka, atau sibuk dengan urusan pribadi yang jauh dari hiruk-pikuk dunia buku.



Mengapa begitu sulit menemukan penjual buku yang benar-benar peduli? Mungkin karena mereka melihat pekerjaan ini sekadar sebagai pekerjaan, bukan panggilan. Mereka menjual buku seperti menjual sembako, tanpa ada rasa cinta atau antusiasme. Padahal, buku-buku itu, dengan segala cerita dan pengetahuan yang terkandung di dalamnya, layak untuk diperkenalkan dengan penuh 

Di sisi lain, ada pembaca yang datang ke toko buku dengan harapan tinggi. Mereka mencari inspirasi, mencari jawaban, atau sekadar mencari teman di antara halaman-halaman buku. Tanpa bimbingan penjual buku yang berpengetahuan dan antusias, mereka tersesat di lautan pilihan. Betapa banyak harta karun literasi yang tak tergali, betapa banyak kesempatan yang terlewatkan karena kurangnya interaksi.



Tentu saja, kita tidak bisa menutup mata pada realitas bisnis. Penjual buku punya target penjualan, punya angka-angka yang harus dipenuhi. Tapi di sinilah letak tantangannya: bagaimana menyeimbangkan antara bisnis dan passion? Bagaimana menghidupkan kembali semangat dalam menjual buku, sehingga tidak hanya menjadi transaksi biasa, tapi juga menjadi pengalaman yang berarti bagi pembaca?


Saya membayangkan toko buku yang ideal sebagai tempat pertemuan. Tempat di mana penjual buku bisa berbagi rekomendasi dengan pembaca, bisa mendiskusikan buku-buku terbaru, atau bahkan sekadar berbicara tentang penulis favorit. Tempat di mana pembaca merasa dihargai, merasa dipandu, dan merasa terhubung dengan dunia yang lebih luas melalui buku.

Menjadi penjual buku bukan hanya soal menjual, tapi juga soal menyebarkan cinta pada literasi. Di era di mana semua orang sibuk dengan dunianya sendiri, penting bagi penjual buku untuk keluar dari cangkangnya, untuk terlibat dengan pembaca, dan untuk menjadikan toko buku sebagai tempat yang hidup dan penuh makna. Sebab, pada akhirnya, buku adalah tentang cerita—dan cerita itu lebih indah ketika dibagikan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BOOKHIVE kulonuwon di SURABAYA

Kemudian kita taruh rak2 buku itu dipojokan2 ruang publik agar masyarakat bebas membaca dan mengakses pengetahuan sembari mereka mengantre atau nyantai menunggu sesuatu. Begitulah ... Seseorang atau sebuah komunitas punya ide yang nampaknya utopis tapi persetanlah ... Ide harus di wujudkan. Meskipun nanti akhirnya rak2 itu hanya menjadi semacam pemanis atau semacam formalitas sebuah instansi agar dipandang berbudaya. Ya ... Konsep menempatkan rak2 buku lengkap dengan buku2 bacaan ringan di ruang publik memang  bukan hal baru. Lalu apa yg membedakan #bookhive dgn semisal perpus gratis yg digagas pak sutopo tukang becak di jogja, pak sugeng hariyono tukang tambalban di lampung, dan fauzi tukang jamu dari sidoarjo, atau lapak2 baca gratis semacam ALS ( ALIANSI LITERASI SURABAYA) yg melapak dibeberapa spot taman kota surabaya dengan deg2an karena seringkali berhadap2an dengan aparat keamanan karena dianggap mengganggu estetika taman kota. Apa bedanya? Apa beda esteh

RESEP SEHAT ALA PAK ANTOK

1. 1 siung bawang lanang 2. 9 biji kemiri 3. 9 helai daun luntas muda 4. 1 butir Telur ayam kampung 5. Sepotong kecil pala 6. Madu Resep dari pak antok. Usia 72 tahun. Bersepeda verza tanpa jaket, hanya spon tipis di balik bajunya. Ngopi di warkop sederhana pinggir jalan memang kadang lebih mengasyikkan daripada ngopi di warkop2 kekinian. Ada nuansa kalem, santai tanpa bising soundsistem yg brutal. Tanpa kesemrawutan umpatan2 anakmuda mabar ML yang sibuk berebut sinyal wifi. Warkop sederhana. Hanya ada beberapa 1-2 talam gorengan. Minuman dengan Menu2 standart dan tentunya kesempatan membuka percakapan dengan liyan yang tak terdistraksi gawai. Pak antok, menawar vega ku. Percakapan di mulai dari sana. Ngobrol soal sepeda2 yang pernah beliau pakai. Mulai dari lambreta, motor laki keluaran2 lama yg aku tak paham merk nya karena sudah menjadi barang langka, hingga sepeda2 sekarang -khususnya metik- yg tak punya tenaga. Soal motor RX-king yang hampir menjadi asabab

Hujan kesedihan

Siapa yang bisa menyalahkan orang2 yang melekatkan kesedihan pada hujan?. ...... ketika adam terlempar ke bumi, terpisah dari tulang rusuk nya sendiri kemudian hujan yang pertama baginya datang, apa yang ia lakukan? Mungkin dari sanalah hujan mendapatkan peran sebagai kembaran kesedihan. ..... Aku tak ingin memberi mu kesedihan lewat hujan. Kau sendiri yang tiba2 mengirim pesan pendek padaku, berkata: aku takut pada kesepian. Aku takut hujan yang menambah panjang kesepian. Aku takut hujan yang menambah panjang kesepian yang selalu berujung pada kesedihan. ..... bukan hujan yang memperpanjang kesepian. Bukan kesepian yang memojokkan mu pada kesedihan. Bukan pula hujan yang melahirkan kedua nya. Tapi kamulah penyebab nya ..... Kau lah yang tak juga beranjak dari kesedihan yang kau bangun sendiri. Kesedihan yang Kau pupuk dengan kebahagiaan2 semu. Kebahagiaan yang kau peras dari kesedihan orang lain. ....